ruang yang semakin buram
Ruang makan yang
ukurannya tidak luas, namun cukup untuk 4 orang anggota keluarga. Sekumpulan
manusia, yang katanya menjadi keluarga karena ikatan darah, tidak pernah duduk
mengitari satu meja itu. Meja makan itu hanya diisi dengan makanan, yang bahkan
tak selalu ada dan ramai. Tidak ada diskusi hangat bahkan suara sendok beradu
dengan piring pun tak ada.
Selalu hanya menjadi
sebuah ruang. Selalu hanya menjadi sebuah kepemilikan. Meja makan terasa
seperti bukti status bahwa keluarga itu mampu secara finansial. Ruang tersebut
menjadi penuh dengan hampa yang terasa biasa.
Suatu hari, 1 orang pergi
menuju akhir. Manusia yang tersisa pun, tak pernah duduk bersama di sana dengan
damai. Ruang makan berubah menjadi ruang diam, menjadi ruang untuk duduk dengan
diri sendiri. Ketiga orang yang tersisa lebih nyaman untuk menjauh dari ruang
itu. Bahkan, bercengkrama pun terasa asing karena merah selalu hadir mengisi celah
yang kosong.
Salah satu orang lainnya
pun mundur dari sebuah ikatan yang katanya otomatis karena biologis. Harus merasa
bahwa ini adalah hubungan yang dikasihi karena ikatan takdir memukul dirinya
untuk mundur. Menjadi tidak merasa aman dan nyaman terhadap orang yang tersisa
adalah kesalahan tak termaafkan hanya karena status hierarki. Sosok yang
memilih mundur itu tak pernah menyesal atas apa yang dilakukan. Ia memilih
untuk menghujani dirinya dengan pelukan dan penerimaan yang tak pernah ia dapat
dimanapun.
Ruang makan pun menjadi
hilang ke sakralannya. Ia menjadi buram dalam pandangan. Dahulu terasa tidak
hangat, namun sekarang, terasa jauh, dingin, dan, terasing. Biru dan merah
selalu duduk disana, mendominasi dan memanipulasi siapapun yang berani duduk di
kursi makan. Mereka bergandeng tangan dan berpelukan hidup disana. Membuat
ruang makan menjadi semakin buram dan sesak akan asap merah.
Tidak ada komentar: