ruang yang semakin buram

20.51

Ruang makan yang ukurannya tidak luas, namun cukup untuk 4 orang anggota keluarga. Sekumpulan manusia, yang katanya menjadi keluarga karena ikatan darah, tidak pernah duduk mengitari satu meja itu. Meja makan itu hanya diisi dengan makanan, yang bahkan tak selalu ada dan ramai. Tidak ada diskusi hangat bahkan suara sendok beradu dengan piring pun tak ada.

Selalu hanya menjadi sebuah ruang. Selalu hanya menjadi sebuah kepemilikan. Meja makan terasa seperti bukti status bahwa keluarga itu mampu secara finansial. Ruang tersebut menjadi penuh dengan hampa yang terasa biasa.

Suatu hari, 1 orang pergi menuju akhir. Manusia yang tersisa pun, tak pernah duduk bersama di sana dengan damai. Ruang makan berubah menjadi ruang diam, menjadi ruang untuk duduk dengan diri sendiri. Ketiga orang yang tersisa lebih nyaman untuk menjauh dari ruang itu. Bahkan, bercengkrama pun terasa asing karena merah selalu hadir mengisi celah yang kosong.

Salah satu orang lainnya pun mundur dari sebuah ikatan yang katanya otomatis karena biologis. Harus merasa bahwa ini adalah hubungan yang dikasihi karena ikatan takdir memukul dirinya untuk mundur. Menjadi tidak merasa aman dan nyaman terhadap orang yang tersisa adalah kesalahan tak termaafkan hanya karena status hierarki. Sosok yang memilih mundur itu tak pernah menyesal atas apa yang dilakukan. Ia memilih untuk menghujani dirinya dengan pelukan dan penerimaan yang tak pernah ia dapat dimanapun.

Ruang makan pun menjadi hilang ke sakralannya. Ia menjadi buram dalam pandangan. Dahulu terasa tidak hangat, namun sekarang, terasa jauh, dingin, dan, terasing. Biru dan merah selalu duduk disana, mendominasi dan memanipulasi siapapun yang berani duduk di kursi makan. Mereka bergandeng tangan dan berpelukan hidup disana. Membuat ruang makan menjadi semakin buram dan sesak akan asap merah.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.